BBM. Kata yang singkat tapi familiar itu kini menjadi bahan perbincangan utama media dan masyarakat. Rencana finalnya, pemerintahan SBY akan menaikan BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500 per liter pada 1 April 2012. Ada yang mendukung dengan alasan penyelamatan APBN, tak sedikit juga yang menolaknya. Para politisi lawan politik SBY contohnya mengkritisi kebijakan tersebut. Media massa seperti Tempo dan beberapa pengamat politik menyebut politisi itu hanya mencari popularitas sebagai bentuk pencitraan mereka. Hal ini karena tahun 2014 akan digelar pemilu. Tentu saja sedari sekarang para politisi sudah mulai ambil ancang-ancang supaya dianggap pro-rakyat. Tema BBM menjadi komoditas politik mereka. Kesempatan dalam kesempitan.
Jadi teringat bobodaran Sunda dari acara Cangehgar saat menyebut, mendengar dan membaca berita BBM. Ceritanya tokoh yang bernama si Udin, seorang anak yang masih duduk di SD bertanya kepada bapaknya. ”Pak, ai BBM teh sato naon? (Pak, BBM tuh jenis hewan apa?)” tanya si Udin. Bapaknya dengan nada heran balik bertanya, “Naha BBM disebut sato? (Kenapa BBM disebut hewan?)” Si Udin pun menjelaskan dengan singkat, “Eta gening bisa naek BBM teh? (Itu ko bisa naik BBM?)” Cangehgar pun ditutup dengan gelak tawa pendengar.
Sebagai seorang mahasiswa, saya tidak terlalu banyak mempersoalkan kenaikan BBM. Meskipun saya harus ikut-ikutan demo ataupun banyak mengkritik kebijakan tersebut, rencana kenaikan BBM tak akan bisa dibatalkan. Bagi mereka, kenaikan BBM merupakan suatu tindakan yang sangat rasional. Di saat harga minyak dunia terus terkerek hingga mencapai harga yang melambung tinggi, Indonesia tak bisa berbuat apa-apa.
Bukankah kita penghasil dan pengimpor minyak? Bumi Indonesia menghasilkan banyak minyak, tapi hasilnya kan tidak lari ke negeri sendiri. Indonesia hanya menerima minyak setelah diolah oleh orang luar. Indonesia tidak bisa menentukan harga. Di saat itulah harga minyak akan mengikuti harga pasar dunia. Sangat berat bagi pemerintah untuk mensubsidinya, APBN katanya sangat terbatas untuk mensubsidi.
APBN lagi yang harus disalahkan. Pengelola negara yang semestinya jadi sasaran kesalahan. Banyak ko sumber penerimaan negara untuk mengatasi BBM mah. Bukankah banyak sumber APBN yang tak terkelola dengan benar dan transparan? Lihat saja minyak bumi Indonesia, bukan negara sendiri yang mengelolanya. Tengok pula kebocoran dan penyalahgunaan pajak. Belum lagi dana pembangunan dikorup. Dari pada dikorup, mending buat subsidi BBM. Tak hanya itu, alokasi APBN untuk bidang tertentu tak proporsional. Jangka pendek, program pemerintah itu kebanyakan jangka pendek. Wah, rumit juga kalau bicara BBM di Indonesia.
Beda dengan Venezuela. Negara sosialis ini juga penghasil minyak, tapi kondisi ekonomi tak jauh berbeda dengan Indonesia. Katanya di Venezuela harga BBM sekarang cuma Rp 585. Percaya? Saya baca di berita ini (klik aja, entar kebuka ko link-nya).
Tetapi, posisi saya sekarang bukan hanya sebagai seorang mahasiswa. Justru saya sama dengan rakyat kebanyakan, penerima imbas dari kenaikan BBM. Saya tidak punya motor, apalagi mobil. Kemana-mana saya menaiki angkot, bus, ojek, kadang juga taksi. Tak hanya rarif kendaraan umum saja yang nantinya naik, harga kebutuhan yang harus saya beli sehari-hari pasti ikut-ikutan naik.
Kenapa sih harus ikut-ikutan naik segala. Memangnya saya makan BBM gitu? BBM ya BBM, barang kebutuhan pokok ya barang kebutuhan pokok. Ternyata yang makan BBM itu barang kebutuhan pokok, tapi kenapa saya yang harus menanggungnya. Tapi mau bagaimana lagi kalau mekanisme pasar yang mengendalikan semuanya. Mekanisme pasar memang seperti Tuhan, berkuasa atas nasib umat manusia. Atau Tuhan umat manusia sekarang sudah diganti dengan mekanisme pasar melalui pemilu atau kudeta?
Saya jadi heran, sehebat itukah kekuasaan mekanisme pasar? Heboh. Sekarang umat manusia begitu heboh ketika bicara BBM. Kita selalu bergantung pada cairan dahsyat ini. Indonesia malah tambah heboh. Tiap hari kita disuguhi dengan berita kenaikan BBM, barang kebutuhan pokok, hingga barang yang bukan pokok. Bergabung dengan masyarakat, telinga ini hanya bisa mendengar ocehan dan keluhan masyarakat terkait kenaikan BBM.
Bagi orang yang dikatakan miskin, jangan khawatir katanya. Ada kompensasi atas kenaikan BBM, yaitu bantuan langsung tunai alias BLT. Nilainya naik untuk kenaikan BBM sekarang. Dulu Rp 100 ribu per bulan, sekarang menjadi Rp 150 ribu per bulan. SBY memang pengertian kepada rakyat yang susah. Apa saja sih kriteria orang yang dikatakan miskin dan susah itu? Ini juga jadi bahan perbincangan. Bagaimana tidak, banyak salah sasaran penerima BLT-nya. Yang dikatakan miskin dan susah justru banyak yang tak menerima, yang hidup mapan malah menerima. Tiada rasa malu bagi yang mapan mengaku dirinya miskin demi BLT. Apa mengaku miskin sudah membudaya di Indonesia? Itu pengalaman BLT yang dulu, tidak tahu apa yang akan terjadi tahun ini.
BBM lagi BBM lagi. Saya baca pandangan dari beberapa media massa besar seperti Tempo malah mendukung kenaikan BBM. Saya baca lagi media lain, terutama media berskala kecil banyak menurunkan berita penolakan BBM ditambah imbas yang akan terjadi. Semua orang di sana bicara BBM. Yang besar berteriak “Dukung kenaikan BBM”, yang kecil menjerit “Aaarrrhhhggg tidaaak”. Pantas saja tokoh si Udin keheranan. “Hewan macam apa sih BBM itu”? Tiap hari jadi bahan gosip bak selebritis.
Artikel ini dipublikasikan juga di harian Inilah Koran Jabar edisi 20 Maret 2012 dengan judul yang sama.
No comments:
Post a Comment